• Breaking News

    Saturday, 20 August 2016

    Jihad Selfie


    Banyak orang mungkin akan langsung bergidik ngeri atau malah tak kuasa menahan marah saat mengingat sepak terjang ISIS (Islamic State of Iraqand Syria) beberapa tahun belakangan. Namun bagi sebagian orang, ISIS adalah nama yang penuh daya tarik karena mampu memberi mereka harapan baru. Salah satu yang merasakan hal ini, adalah Teuku Akbar.

    Usia Akbar memang masih terbilang muda, baru masuk angka 17. Namun, ia bukan pemuda biasa. Lelaki asal Aceh ini adalah anak cemerlang yang mendapat beasiswa dari pemerintah Turki untuk meneruskan sekolah setingkat SMA di negara tersebut. Meski telah meraih pencapaian ini, ternyata masih ada yang kurang di hati Akbar.

    “Saya saat itu galau. Pelajaran yang saya terima terlalu mudah. Daripada hidup gini-gini aja, saya lebih baik berjihad untuk mencapai hidup yang lebih mulia, yakni mati syahid,” ujar Akbar.
    Saat itulah ia mengecek media sosial dan melihat selfie salah seorang temannya asal Indonesia yang bergabung dengan ISIS. Dalam foto ini, diperlihatkan sang kawan yang berusia sepantaran dengannya ini, tengah berpose dengan senapan AK-47.

    “Saya lihatlah foto-foto beliau. Gagah sekali pegang tembak,” kata Akbar dengan logat Aceh yang terdengar cukup kental. Lewat foto ini, ditambah dengan janji manis bahwa bergabung dengan ISIS akan dibayar dengan harta di dunia dan syahid di jalan Allah, Akbar berniat menyeberang ke Suriah, medan pertempuran ISIS kala itu.

    Di tengah jalan, ia bertemu dengan Nur Huda Ismail. Huda, adalah seorang peneliti terorisme asal Indonesia yang kala itu diundang menjadi pembicara di Turki. Kisah Akbar, menarik Huda untuk menelisiknya lebih jauh. Inilah yang menjadi awal mula kemunculan film dokumenter bertajuk Jihad Selfie.

    Jihad Selfie, bisa dikatakan sebagai mikroskop yang meneliti sel teroris dari tingkat terkecil, yakni individu per individu. Menjadi menarik, karena Jihad Selfie mengulik satu isu baru dalam perekrutan anggota baru ISIS, yakni melalui media sosial.

    Apalagi, kata Huda, banyak pemuda pintar yang terpancing oleh umpan yang ditebar ISIS di dunia maya ini. “Mereka imajinatif, dan mencari sesuatu yang meaningful dalam hidup,” katanya. Dan menurut film ini, faktor yang membuat anak-anak muda pintar ini terjerat ISIS, bisa jadi karena hal ‘sepele’. Yakni soal eksistensi di dunia maya, dan juga kebutuhan untuk mencari jati diri.

    Hal lain yang menarik dari Jihad Selfie, adalah Huda mampu masuk ke lingkar dalam para pendukung ISIS di Indonesia. Penonton diajak untuk mendengarkan langsung pengakuan blak-blakan para narasumber ini. Salah satu pengakuan mengejutkan dalam film ini, adalah seorang pendukung ISIS yang merasa bersyukur anak lelakinya bersedia mati di medan jihad bersamanya.

    Jihad Selfie, memang sangat kental dengan unsur dramatisasi, baik dari segi audiovisual maupun naratif. Di beberapa bagian,hal ini membuat Jihad Selfie terasa sedikit tendesius. Misalnya penggunaan cuplikan yang terasa tak begitu jelas konteksnya, juga beberapa adegan yang digunakan untuk menggambarkan salah satu pendukung ISIS. Namun di lain pihak, tak bisa dipungkiri bahwa di bagian film yang lain, dramatisasi ini membuat Jihad Selfie menjadi lebih mudah ditelan oleh penonton awam.


    Di luar itu, Jihad Selfie juga menawarkan sebuah solusi yang membumi. Film ini menawarkan jalan keluar yang relatif mudah diterapkan untuk mencegah kematian sia-sia para pemuda pintar ini. Menurut Jihad Selfie, para pemuda galau ini ternyata hanya butuh hal-hal sederhana, sesederhana kehangatan keluarg

    No comments:

    Post a Comment