Banyak orang mungkin akan langsung bergidik ngeri
atau malah tak kuasa menahan marah saat mengingat sepak terjang ISIS (Islamic
State of Iraqand Syria) beberapa tahun belakangan. Namun bagi sebagian orang,
ISIS adalah nama yang penuh daya tarik karena mampu memberi mereka harapan
baru. Salah satu yang merasakan hal ini, adalah Teuku Akbar.
Usia Akbar memang masih terbilang muda, baru masuk
angka 17. Namun, ia bukan pemuda biasa. Lelaki asal Aceh ini adalah anak
cemerlang yang mendapat beasiswa dari pemerintah Turki untuk meneruskan sekolah
setingkat SMA di negara tersebut. Meski telah meraih pencapaian ini, ternyata
masih ada yang kurang di hati Akbar.
“Saya saat itu galau. Pelajaran yang saya terima
terlalu mudah. Daripada hidup gini-gini aja, saya lebih baik berjihad untuk
mencapai hidup yang lebih mulia, yakni mati syahid,” ujar Akbar.
Saat itulah ia mengecek media sosial dan melihat
selfie salah seorang temannya asal Indonesia yang bergabung dengan ISIS. Dalam
foto ini, diperlihatkan sang kawan yang berusia sepantaran dengannya ini,
tengah berpose dengan senapan AK-47.
“Saya lihatlah foto-foto beliau. Gagah sekali pegang
tembak,” kata Akbar dengan logat Aceh yang terdengar cukup kental. Lewat foto
ini, ditambah dengan janji manis bahwa bergabung dengan ISIS akan dibayar
dengan harta di dunia dan syahid di jalan Allah, Akbar berniat menyeberang ke
Suriah, medan pertempuran ISIS kala itu.
Di tengah jalan, ia bertemu dengan Nur Huda Ismail.
Huda, adalah seorang peneliti terorisme asal Indonesia yang kala itu diundang
menjadi pembicara di Turki. Kisah Akbar, menarik Huda untuk menelisiknya lebih
jauh. Inilah yang menjadi awal mula kemunculan film dokumenter bertajuk Jihad Selfie.
Jihad Selfie, bisa dikatakan sebagai mikroskop yang
meneliti sel teroris dari tingkat terkecil, yakni individu per individu.
Menjadi menarik, karena Jihad Selfie mengulik satu isu baru dalam perekrutan
anggota baru ISIS, yakni melalui media sosial.
Apalagi, kata Huda, banyak pemuda pintar yang
terpancing oleh umpan yang ditebar ISIS di dunia maya ini. “Mereka imajinatif,
dan mencari sesuatu yang meaningful dalam hidup,” katanya. Dan menurut film
ini, faktor yang membuat anak-anak muda pintar ini terjerat ISIS, bisa jadi
karena hal ‘sepele’. Yakni soal eksistensi di dunia maya, dan juga kebutuhan
untuk mencari jati diri.
Hal lain yang menarik dari Jihad Selfie, adalah Huda
mampu masuk ke lingkar dalam para pendukung ISIS di Indonesia. Penonton diajak
untuk mendengarkan langsung pengakuan blak-blakan para narasumber ini. Salah
satu pengakuan mengejutkan dalam film ini, adalah seorang pendukung ISIS yang
merasa bersyukur anak lelakinya bersedia mati di medan jihad bersamanya.
Jihad Selfie, memang sangat kental dengan unsur
dramatisasi, baik dari segi audiovisual maupun naratif. Di beberapa bagian,hal
ini membuat Jihad Selfie terasa sedikit tendesius. Misalnya penggunaan cuplikan
yang terasa tak begitu jelas konteksnya, juga beberapa adegan yang digunakan untuk
menggambarkan salah satu pendukung ISIS. Namun di lain pihak, tak bisa
dipungkiri bahwa di bagian film yang lain, dramatisasi ini membuat Jihad Selfie
menjadi lebih mudah ditelan oleh penonton awam.
Di luar itu, Jihad Selfie juga menawarkan sebuah
solusi yang membumi. Film ini menawarkan jalan keluar yang relatif mudah
diterapkan untuk mencegah kematian sia-sia para pemuda pintar ini. Menurut
Jihad Selfie, para pemuda galau ini ternyata hanya butuh hal-hal sederhana,
sesederhana kehangatan keluarg
No comments:
Post a Comment